Kita tidak pernah tahu karya yang mana yang mampu menginspirasi banyak orang, maka pastikan yang kita tulis adalah kebenaran.
|
|
Katamu kopi itu membahagiakan. Aku coba mencicipinya, ternyata kau benar. Ketika kau berkata menyukai kopi, seketika aku ingin menjelma menyerupainya. Namun, aku sedang lupa bahwa bukan hanya kopi yang membuatmu bahagia. Ada hal-hal di luar sana yang juga membuatmu tertawa renyah, kopi hanyalah sepersekian persennya. Maka aku sibuk kesana kemari, mencari perihal semua yang kau senangi. Serupa kopi, serupa buku, serupa gunung, serupa pantai, serupa pelangi. Sampai di satu waktu aku berhenti, apakah aku harus menjadi berbagai rupa agar sekadar kau sukai? Malang, 30 Desember 2022 *untukmu yang mencari validasi, bagi orang-orang yang menyayangimu kamu tak perlu menjadi orang lain, cukup menjadi dirimu sendiri. Puisi ini saya selesaikan tepat satu tahun yang lalu, 30 Desember 2022 di sebuah kedai kopi di Kota Malang. Dulu sekali saya bertanya-tanya, bagaimana caranya penyair, penulis, dan pencipta lagu dapat menciptakan karya bernada cinta padahal perasaan menggebu tidak datang setiap harinya? Apalagi jika kita bukan lagi remaja yang sedang mendamba. Bagaimanapun tulisan harus ada nyawanya. Jika cinta tidak setiap saat hadir, lantas apa ‘bahan bakar’ untuk menuliskannya?
Waktu masih kuliah dulu, ada satu hal yang sangat berbeda yang pernah saya temukan. Sebelum kelas Etika Bisnis dimulai, kami harus menceritakan hasil ‘olah rasa’ kami yang kami tuliskan sebelumnya. Olah rasa ini merupakan hal yang diwajibkan oleh Prof. Unti untuk ‘menceritakan’ perasaan-perasaan kami tentang keluarga, sahabat, dan apapun itu. Kami mahasiswa Akuntansi yang hampir setiap hari berkutat dengan angka, maka di setiap awal pertemuan kelas ini kami harus menuliskan dan menceritakan perasaan kami. Hal ini sangat membantu saya untuk mengungkapkan apa yang sedang saya rasakan. Saya tahu betul, saya bukanlah tipe orang yang mudah mengungkapkan apa yang ada di kepala dan di hati, bahkan sesederhana untuk mengungkapkan rasa sayang dan bahagia kepada siapapun itu. Saya lebih suka mengekspresikannya dengan perbuatan bukan lisan, pun sama halnya ketika merasakan kecewa. Ketika kecewa, saya lebih banyak memendamnya. Menelannya sendiri. Sampai ada saat dimana tumpukan perasaan kecewa itu meluap dan meledak tak bisa dihindari lagi. Menuliskannya membantu saya untuk mulai memaafkan. Mengambil jeda, dan waktu yang akan mengembalikan. Ketika menuliskan puisi ini, saya tidak bertanya-tanya lagi. Manusia selalu punya rasa di dalam hatinya apapun keadaannya, bahagia, cinta, dan amarah yang harus diolah. Menuliskannya membantu melelehkan ego di dalam diri. Maafkan segala perih yang telah diberi. Jakarta, 30 Desember 2023
0 Comments
|
AuthorIzza Akbarani
|